Berikut adalah catatan saya dari hasil mengikuti kegiatan Sosialiasi Pengurangan Sampah Rumah Tangga dan Pengelolaan Bank Sampah yang merupakan bagian dari program 100 hari Kementerian Lingkungan Hidup. Acara diadakan di Hotel Best Western, Jumat, 8 November 2024.
- Sampah yang dihasilkan DKI Jakarta adalah 8.600 ton per hari. 86% ditumpuk begitu saja ke Bantargebang.
- Setiap tahun, DKI Jakarta mengeluarkan dana 2 triliun untuk pembuangan sampah.
- Indonesia masih impor sampah plastik karena plastik-plastik yang ada di Indonesia cenderung kotor dan tidak terpilah dari sampah organik sehingga tidak bisa masuk ke dalam industri sebagai bahan baku.
- Target: 1 bank sampah per RW dan akan dilakukan peningkatan kapasitas bank sampah yang sudah aktif.
- Tahun ini adalah tahun terakhir Indonesia mengimpor sampah plastik, oleh karena itu penyerapan bahan baku plastik melalui bank sampah perlu ditingkatkan.
- Seluruh peraturan perundang-undangan terkait persampahan sudah tersedia, tinggal pelaksanaannya saja.
- Ikut bersyukur menyimak cerita perkembangan Bank Sampah RW 05 Kelurahan Cipinang Besar Selatan dimana saya pernah menjadi nasabahnya.
Karena waktu terbatas, maka saya tidak berkesempatan untuk menyampaikan pertanyaan dan masukan kepada Direktur Pengurangan Sampah Ibu Vina Damayanti dan jajarannya. Oleh karena itu, aspirasi saya sampaikan dalam tulisan ini.
Apa program 100 hari Kementerian LH untuk penanganan sampah organik?
Dalam paparan sudah disampaikan dengan jelas bahkan berkali-kali kalau lebih dari 40% komposisi timbulan sampah terdiri dari sampah organik. Namun di dalam pemaparan program 100 hari lebih banyak berfokus kepada penanganan sampah anorganik yang jumlahnya lebih sedikit.
Saya penasaran dengan program 100 hari Kementerian LH apakah ada yang terkait dengan penanganan sampah organik. Karena apabila sampah organik terpilah dan terolah, maka niscaya penyerapan sampah anorganik akan menjadi lebih mudah.
Sebagai praktisi pemilahan dan pengolahan sampah organik sejak tahun 2014, saya menjadi bukti bagaimana timbulan sampah akan berkurang 40-80% akan terjadi bila melakukan pemilahan sampah organik dari sumber itu benar-benar bisa terjadi. Oleh karena itu, saya menunggu sosialisasi terkait dengan pengolahan sampah organik namun ternyata lebih berfokus kepada pengolahan sampah anorganik.
Menghadirkan sentra pengolahan sampah organik di setiap kelurahan
Sebagai praktisi pengolahan sampah organik, saya mengusulkan agar setiap kelurahan di DKI Jakarta memiliki sentra pengolahan sampah organik. Yang apabila sudah ada, diumumkan secara masif ke setiap RW agar bisa menjadi pengetahuan warga untuk belajar dan mengembangkan di RW, RT atau rumah masing-masing. Dengan adanya sentra pengolahan sampah organik, khususnya berbasis maggot BSF agar prosesnya dapat menjadi cepat, efektif dan minim bau, niscaya penyerapan sampah anorganik melalui bank sampah juga akan semakin masif peningkatannya.
Lebih banyak apresiasi (reward) daripada sanksi
Sanksi atau aturan yang mengancam jelas adalah sebuah tindakan yang tidak efektif sebagai solusi di dalam penanganan masalah sampah di masyarakat. Mengapa? Salah satunya karena tidak mudahnya melakukan pengawasan dengan kondisi teknologi dan kesadaran yang saat ini berkembang di Indonesia.
Oleh karena itu, saya mengusulkan agar pihak pemerintah meningkatkan program-program apresiasi terhadap anggota masyarakat yang sudah melakukan pemilahan dan pengolahan sampah organik, mengglorifikasinya melalui media sosial agar menjadi gerakan yang menginspirasi dan mau diikuti oleh masyarakat.
Menjadikan Kementerian LH dan jajarannya sebagai contoh pelaksanaan gaya hidup Zero Waste
Salah satu cara yang akan membuat proses sosialisasi menjadi efektif adalah dengan menjadi contoh. Apa yang disampaikan oleh Ibu Vina dan Bapak Asep melalui paparannya adalah sebuah hal normatif yang tentu baik adanya. Saya menyarankan untuk program sosialisasi berikutnya, Ibu Vina dan Pak Asep juga menyertakan foto aktivitas pemilahan sampah dan pengolahan sampah organik yang dilakukan di rumah masing-masing dan juga yang dilakukan di dalam lingkungan Kementerian LH. Sehingga apa yang disosialisasikan bukan hanya sekadar ide atau jargon, namun sudah dicontohkan secara nyata dan konsisten oleh Kementerian LH dan jajarannya. Dengan contoh dan aksi nyata, bukan hanya sekadar himbauan atau aksi pada saat seremoni belaka, niscaya program sosialisasi akan lebih membumi dan terasa bisa dilakukan.
Sebagaimana cerita perjalanan dan pengalaman Ibu Parkiyem dari RW 05 Bank Sampah Kelurahan Cipinang Besar Selatan menjadi bukti bahwa Bank Sampah yang konsisten dijalankan dengan semangat dan sepenuh hati, bahkan di saat belum ada dukungan dari pemerintah, ternyata bisa memberi dampak nyata dan menginspirasi kami sebagai penggerak sampah di RW kami masing-masing.
Menerapkan prinsip Zero Waste dalam acara sosialisasi
Acara sosialisasi yang saya ikuti pada hari ini diadakan di sebuah hotel dengan pelayanan hidangan prasmanan. Namun saya tidak melihat ada himbauan baik dari panitia maupun pembawa acara agar para peserta bisa menempatkan sampah-sampah sisa makanan maupun kertas pembungkus cemilan sesuai dengan jenisnya. Walaupun mungkin belum bisa 100% berjalan dengan efektif, namun kebiasaan menghadirkan tempat-tempat penampungan sisa konsumsi perlu diinisiasi oleh Kementerian LH dan jajarannya bila memang benar-benar ingin melakukan apa yang disebut sebagai sosialisasi. Karena teori yang bagus dan baik akan menjadi ‘omon-omon’ belaka tanpa praktik nyata, terkhusus oleh pihak dan instansi yang menyampaikan.
Menggunakan teknologi untuk pemantauan dan apresiasi
Sekiranya Kementerian LH berkenan untuk mengalokasikan sumber dayanya dalam mengembangkan aplikasi agar dapat melakukan pemantauan aktivitas dan apresiasi baik dari Bank Sampah maupun masyarakat yang bergerak secara aktif namun tidak pernah mendapat perhatian sebelumnya. Dengan adanya aplikasi yang responsif, maka pihak Kementerian LH dapat melihat aktivitas Bank Sampah maupun warga yang perlu mendapat dukungan dan menaikkannya ke media sosial agar menjadi inspirasi bagi semakin banyak masyarakat untuk bergerak bersama.
Mendorong (bahkan memaksa) pelaku industri HOREKA untuk memiliki pengolahan sisa organik secara mandiri
Usaha-usaha yang terkait langsung dengan penyediaan makanan bagi masyarakat seperti hotel, restoran dan kafe perlu diajak bahkan dipaksa untuk mengolah sisa organiknya secara mandiri. Semakin besar hotel, restoran atau kafe, maka semakin wajib untuk mengalokasikan sebagian dana operasionalnya untuk mengolah sampah organiknya secara mandiri.
Begitu pula kepada pihak pengelola pasar di Jakarta juga wajib mengalokasikan sumber dayanya untuk membangun area pengolahan sampah organik secara mandiri.
Karena bila pengolahan sampah organiknya menggunakan maggot BSF, lahan yang dibutuhkan tidaklah besar, dapat dibuat bertingkat dengan hasil olahan sisa organik yang cepat terurai dan berubah menjadi pupuk yang bermanfaat, maggotnya pun merupakan sumber protein bagi ternak yang bisa bermanfaat.
Demikian sedikit urun saran dari saya, praktisi pengolahan sampah organik secara rumah tangga sejak tahun 2014, yang saat ini dipercaya menjadi penggerak Bank Sampah di RW 09 Kelurahan Cipinang Muara. Siapa tahu bisa terbaca oleh Bapak Hanif Faisol Nurofiq sebagai Menteri Lingkungan Hidup. Setidaknya oleh mentor saya Ketua ASOBSI mbak Wilda Yanti.
Semoga siapa pun yang membaca tulisan ini ikut serta tergerak untuk dapat melakukan aksi nyata dalam mengatasi timbulan sampah yang dihasilkan di dalam kehidupan kita demi lingkungan yang lebih bersih dan lebih baik.
Salam hijau
Andito
#rumahhijaunet
0 comments:
Post a Comment