Top Ad 728x90


Saturday, August 1, 2020

ORGANIK dan NON-ORGANIK

“Kalau sudah menjalani keduanya, tetap jalani keduanya ya mas, yang organik dan hidroponik.” Pesan mentor saya, Pak Ronny Tanumihardja, yang disampaikan saat mengikuti pelatihan hidroponik di Cibubur, begitu mengena dan semakin hari semakin relevan untuk dijadikan pedoman di dalam menjalani keseharian ber-urban farming, tidak hanya untuk diri sendiri, namun juga saat berbagi ilmu dan hikmah-hikmah yang didapat kepada orang lain.

Karena setiap dari diri kita niscaya memiliki situasi dan kondisi yang berbeda dalam menjalankan urban farming di tempat kita masing-masing. Ada yang memiliki lahan yang cukup luas untuk ditanami dengan cara organik, namun tetap memilih berhidroponik karena menganggap lebih praktis dan hemat waktu. Ada yang memiliki lahan terbatas, namun tetap memilih dengan cara organik karena menikmati mengolah media tanam dan menyiram setiap hari.

Setiap orang memiliki situasi dan alasannya masing-masing dalam ber-urban farming.

Dan setiap orang juga memiliki pandangannya sendiri dalam hal organik dan non-organik.

Ada yang beranggapan bahwa yang disebut dengan organik adalah dengan menggunakan media tanah di lahan yang luas, yang diperlakukan tanpa pupuk kimia sama sekali. Bahkan ada yang beranggapan bahwa dalam organik tanahnya perlu didiamkan dalam jangka waktu tertentu lalu baru ditanami.

Dan itu tidak apa, dan silakan dijalankan.

Saya pribadi termasuk merasa nyaman dalam menjalani kegiatan berkebun menggunakan aliran organik yang kedua, yaitu tidak mempermasalahkan di mana tanaman itu bertumbuh. Karena selama tanaman itu bertumbuh, maka artinya lingkungannya memungkinkan untuk bertumbuh.

Yang menjadi pembeda adalah dalam memperlakukan tanaman saat bertumbuhnya, apakah menggunakan pestisida berbahan dasar minyak atau air dalam rangka menjauhkan hama demi mendapatkan hasil yang maksimal.

Bahan dasar minyak seperti bensin, solar atau minyak tanah yang digunakan sebagai campuran pestisida tentu ditujukan agar tidak mudah larut bila terkena air, sehingga hama tidak mau datang selama tanaman bertumbuh. Dan tentu lebih menghemat tenaga karena tidak perlu berulang-ulang menyemprotkan pestisida.

Dan kabar serunya adalah pada akhirnya manusialah yang akhirnya ikut mengonsumsi minyak-minyak pestisida yang tertempel pada tanaman tersebut karena tidak mudah larut dalam air.

Untuk satu kali makan mungkin masih tidak apa karena tidak terasa. Namun saat pola yang sama terjadi selama puluhan tahun, dan pada saat yang sama tidak diikuti dengan pola hidup sehat seperti olahraga teratur, tidur cukup serta minum air putih yang terserap tubuh sesuai dengan ukuran berat badan*), yang merupakan kegiatan yang memudahkan proses detoksifikasi dalam tubuh, maka bisa jadi hal itu menjadi pemicu terjadinya penyakit berat di masa depan.

Maka selama menggunakan pestisida dengan bahan dasar air seperti pestisida nabati yang menggunakan bahan organik yang berbau tajam, pahit atau pedas, atau menggunakan ecoenzyme, maka bagi saya tanaman tersebut termasuk organik.

Jadi, ada di dalam aliran organik manakah Anda?

Cipinang, 1 Agustus 2020

#urbanfarmingwisdoms
#motivarmer

*) Bila ingin tubuh dapat melakukan detoksifikasi dengan baik, maka ukuran air putih terserap tubuh yang disarankan adalah ‘berat badan dibagi 20’.

Contoh: bila berat badan 60 kg, maka kebutuhan minimal air putih terserap tubuh dalam satu hari adalah 60:20 = 3 liter.

=========

Untuk sharing dan diskusi seputar komposting dan urban farming, silakan melalui link-link berikut:
bit.ly/GrupFBSahabatRumahHijau
bit.ly/PodcastRumahHijaunet
bit.ly/YoutubeRumahHijaunet

Untuk mengikuti pelatihan komposting secara online, silakan langsung klik link berikut:
bit.ly/PelatihanKompostingOnline

Top Ad 728x90

0 comments:

Post a Comment

Top Ad 728x90